Lulus SMK pada tahun 2019, penuh dengan rasa optimis dengan apa yang terjadi kedepan. Pernah berencana untuk jadi pengangguran selama setahun, tapi dalam kenyataannya ya tetap melamar kerja. Berawal dari detik-detik menuju kelulusan, melihat ada lowongan magang di salah satu perusahaan di Jogja yang bergerak di bidang teknologi. Tanpa rasa ragu langsung mencoba daftar. Dua hari kemudian mendapat email berbahasa Inggris, yang intinya adalah dinyatakan tidak lulus. Masih pada tahun yang sama, namun setelah upacara kelulusan. Dari sekolah ada tawaran pekerjaan dari salah satu tempat PKL yang juga ada siswa dari sekolah. Dan dua orang termasuk aku, mencoba melamar. Setelah ini itu yang pada intinya aku tidak terpilih. Berbulan-bulan setelahnya, ada bootcamp yang dipromosikan oleh Brader Kaesang. Aku daftar, berminggu-minggu setelah pendaftaran aku mendapatkan telepon.
“Apakah masih tertarik mengikuti bootcamp?” tanya mbak-mbak yang telepon dan ternyata dari Enigma.
“Tidak” jawabanku setelah lama berpikir. Keputusan yang aku sesali dalam fase kehidupan setelahnya. Setelah kejadian itu, aku mulai melebarkan sayap ke berbagai aplikasi. Seperti Glints, Techinasia jobs, LinkedIn dan lainnya. Sebelumnya cuma fokus di Jobstreet. Sudah tak terhitung berapa banyak aku “meng-apply” lowongan. Kalau di catatan saya ada 140-an. Dari jumlah tersebut belum ada satu pun yang tembus sampai interview. Ada disuatu titik aku instrospeksi dan merasa “belum layak” untuk terjun ke dunia kerja. Dan memutuskan untuk tidak melamar kerja selama beberapa waktu, serta memperbaiki tampilan CV. Dimasa instrospeksi itulah aku mulai belajar javascript framework. Yang pertama adalah VueJS dan yang kedua adalah ReactJS. Pernah insecure waktu mau melamar, bukan cuma sekali bahkan berkali-kali. Dan melawan rasa malas yang membara ketika ingin membuat suatu projek pribadi buat nambah portofolio. Tidak ada ide untuk membuat "sesuatu". Suatu waktu, aku merasa muak dengan segala "coding-codingan" dan ingin rasanya banting setir ke UI/UX Designer. Dulu pernah belajar buat prototype suatu aplikasi memakai Adobe XD. Dan menurut pendapat orang-orang menyarankan memakai Figma. Lalu, aku mencoba Figma. Setiap aku habis membuat sesuatu, aku memposting di grup UI/UX Designer untuk mendapat kritik dan saran. Aku merasa membutuhkan kritik dan saran itu, karena aku belajar UI/UX Designer secara otodidak dan tidak mengikuti bootcamp ataupun pembelajaran sejenisnya. Hingga kini aku masih menjalani rutinitas-rutinitas itu. Mencari lowongan, mencari sebuah ide, mencari kesibukan dan belajar sesuatu yang baru. Dan aku sadar, banyak orang yang kehilangan pekerjaannya selama pandemi.